Tuan guru dalam bahasa sasak (Lombok) dimaknakan sebagai orang yang alim, yang memiliki pemahaman agama yang lebih dari pada manusia pada umumnya. Yang selalu menjadi panutan bagi masyarakat Lombok. Tuan guru sendiri memiliki kesamaan makna dengan Kyai di daerah jawa atau “buya” bagi orang Sumatra. “Bajang” secara harfiahnya berarti ‘muda dan tentu saja enerjik”. Jadi tuan guru bajang berarti tuan guru yang memiliki pemahaman keilmuan agama yang disegani dan tentu saja masih muda.
Di daerah penulis (Lombok) nama tuan guru bernilai sacral, gelar yang tidak mudah didapatkan oleh seseorang kecuali ia memiliki kualitas keilmuan(ilmu agama) yang mumpuni. Gelar tuan guru merupakan penghargaan tertinggi dari masyarakat yang menurut bahasa salah seorang ulama dari Lombok (tuan guru kyai haji Muhammad zainuddin abdul madjid) menyebut “penghargaan” tersebut dengan “ijazah masyarakat”. Ketika seseorang sudah digelari dengan “tuan guru” itu berarti orang tersebut sudah layak di dengar dan diikuti dan selalu dinilai identik dengan “kebenaran”.
Tuan guru bajang. Dalam kekinian terlihat sebagai sosok muda kelahiran pancor, Lombok timur nusa tenggara barat. Yang karena keluasan ilmunya mendapatkan gelar summa cum laude (gelar yang mungkin hanya segelintir orang yang mampu meraihnya) dari alamamaternya di negeri “mesir” sana. Yang karena keluasan ilmunya kemudian di gelari dengan nama “Tuan guru bajang” oleh masyarakat; tanpa dipaksakan, tanpa dibayar, tanpa di doktrin oleh yang bersangkutan karena mereka menilai dengan mata kepala mereka sendiri. Yang karena keluasan ilmunya kemudian diamanahkan untuk menjadi pemimpin di negeri BUMIGORA.
Tuan guru sejatinya tidak hanya gelar yang disematkan tetapi juga berbicara persoalan trust (kepercayaan) dan keteladanan. Bagaimana seorang tuan guru mampu memberikan pelajaran dan pemahaman yang benar kepada khalayak, tidak justru sebaliknya. Karenanya, sebutan “tuan guru bajang” biarlah lahir dari pikiran tulus masyarakat atas dasar apa yang mereka dengar dan saksikan karena bagaimanapun masyarakat dengan pikiran sederhananya tidak memiliki kepentingan diluar keinginan mereka hanya sekedar menjadi jamaah yang ingin selamat.Tuan guru bajang sejatinya tidak menjadi penanda bahwa yang bersangkutan berhak menyampaikan apa saja, berhak di dengarkan, dan berhak memutuskan apapun meski itu menyimpang dari kebenaran, berhak untuk diikuti oleh masyarakat awam meski itu salah….
makna sakral tuan guru sepertinya harus dikembalikan..
Sebagai ijazah masyarakat, karena kepercayaan dan keteladanan yang dimilikinya
Di daerah penulis (Lombok) nama tuan guru bernilai sacral, gelar yang tidak mudah didapatkan oleh seseorang kecuali ia memiliki kualitas keilmuan(ilmu agama) yang mumpuni. Gelar tuan guru merupakan penghargaan tertinggi dari masyarakat yang menurut bahasa salah seorang ulama dari Lombok (tuan guru kyai haji Muhammad zainuddin abdul madjid) menyebut “penghargaan” tersebut dengan “ijazah masyarakat”. Ketika seseorang sudah digelari dengan “tuan guru” itu berarti orang tersebut sudah layak di dengar dan diikuti dan selalu dinilai identik dengan “kebenaran”.
Tuan guru bajang. Dalam kekinian terlihat sebagai sosok muda kelahiran pancor, Lombok timur nusa tenggara barat. Yang karena keluasan ilmunya mendapatkan gelar summa cum laude (gelar yang mungkin hanya segelintir orang yang mampu meraihnya) dari alamamaternya di negeri “mesir” sana. Yang karena keluasan ilmunya kemudian di gelari dengan nama “Tuan guru bajang” oleh masyarakat; tanpa dipaksakan, tanpa dibayar, tanpa di doktrin oleh yang bersangkutan karena mereka menilai dengan mata kepala mereka sendiri. Yang karena keluasan ilmunya kemudian diamanahkan untuk menjadi pemimpin di negeri BUMIGORA.
Tuan guru sejatinya tidak hanya gelar yang disematkan tetapi juga berbicara persoalan trust (kepercayaan) dan keteladanan. Bagaimana seorang tuan guru mampu memberikan pelajaran dan pemahaman yang benar kepada khalayak, tidak justru sebaliknya. Karenanya, sebutan “tuan guru bajang” biarlah lahir dari pikiran tulus masyarakat atas dasar apa yang mereka dengar dan saksikan karena bagaimanapun masyarakat dengan pikiran sederhananya tidak memiliki kepentingan diluar keinginan mereka hanya sekedar menjadi jamaah yang ingin selamat.Tuan guru bajang sejatinya tidak menjadi penanda bahwa yang bersangkutan berhak menyampaikan apa saja, berhak di dengarkan, dan berhak memutuskan apapun meski itu menyimpang dari kebenaran, berhak untuk diikuti oleh masyarakat awam meski itu salah….
makna sakral tuan guru sepertinya harus dikembalikan..
Sebagai ijazah masyarakat, karena kepercayaan dan keteladanan yang dimilikinya
(sumber: Kompasiana)
Categories:
Artikel
0 komentar:
Posting Komentar